Judul: Lantai Tiga — Part 4: Cermin Terakhir
Judul: Lantai Tiga — Part 4: Cermin Terakhir
(Bagian Akhir)
Rumah kos tua itu akhirnya dijual murah kepada seorang pria paruh baya bernama Pak Bram, seorang kontraktor yang berencana merenovasi dan menjadikannya rumah sewa. Ia tak percaya takhayul. Baginya, semua kisah “penghuni cermin” hanyalah cerita orang-orang ketakutan.
Namun pada hari pertama pembongkaran, para pekerjanya menemukan sesuatu di balik dinding kamar lantai tiga — tepat di belakang cermin besar.
Sebuah ruangan kecil tersembunyi, sempit, dengan satu kursi tua, sehelai kain putih lusuh, dan tulang belulang manusia yang masih mengenakan kalung emas bertuliskan nama:
LARAS.
Polisi dipanggil. Namun yang aneh, kalung itu tidak berdebu sama sekali, seolah baru saja diletakkan di sana. Dan di sebelah tulang-tulang itu, terdapat bingkai foto lama: seorang gadis muda tersenyum bersama seorang pria—tunangannya. Di belakang foto itu tertulis tulisan tangan halus:
“Kalau aku tidak bisa bersamamu di dunia, aku akan menunggu di balik cermin.”
Malamnya, Pak Bram yang penasaran memeriksa ulang kamar itu seorang diri. Ia menatap cermin besar yang belum sempat dipindahkan.
Refleksi dirinya tampak aneh. Seolah bayangan lain berdiri di belakangnya.
Suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan dari balik kaca:
“Kamu menemukan aku… tapi kau belum menemukan dia.”
Pak Bram terdiam. “Siapa ‘dia’?”
“Perempuan yang membebaskanku. Dia… yang kini terperangkap.”
Dan saat ia menatap lebih dekat, refleksi di cermin bukan lagi dirinya—melainkan seorang perempuan muda dengan wajah yang ia kenali dari foto-foto yang ditemukan di kamar itu: Lany.
Matanya menatap langsung dari balik cermin, dengan air mata menetes perlahan.
Bibirnya bergerak pelan, membentuk kata yang sama berulang kali:
“Tolong aku…”
Setelah malam itu, rumah tersebut tak pernah disentuh lagi. Pihak pembeli membatalkan renovasi, para pekerja menolak kembali, dan warga sekitar mulai menyebut rumah itu “Rumah Cermin Menangis.”
Beberapa tahun kemudian, rumah itu akhirnya dijadikan bangunan bersejarah tertutup. Tak ada yang diizinkan masuk. Tapi kadang, penjaga malam yang lewat mengaku melihat cahaya samar dari jendela lantai tiga, dan mendengar suara perempuan berbisik dari dalam:
“Aku Lany… aku cuma ingin pulang…”
Dan jika kau berdiri di depan rumah itu pada malam bulan purnama, menatap kaca jendela lantai tiga cukup lama,
kau akan melihat dua sosok berdiri berdampingan:
Laras dan Lany.
Satu tersenyum lega, satu menatap dengan mata kosong.
Karena janji yang dibuat di antara mereka…
tak akan pernah bisa dihapus.
“Kau buka pintuku…
Sekarang, aku buka pintumu.”
Komentar
Posting Komentar