Judul: Lantai Tiga — Part 3: Janji Laras
Judul: Lantai Tiga — Part 3: Janji Laras
Hari-hari Lany terasa semakin aneh. Ia sering lupa waktu, sering bangun dengan tubuh lemas dan luka gores di pergelangan tangan, seolah dirinya melakukan sesuatu saat tidur. Namun ia tak ingat apa pun.
Sejak malam mimpi itu, setiap kali ia menatap cermin, pantulan dirinya terasa… berbeda.
Refleksi itu tersenyum, bahkan ketika wajah Lany datar. Kadang bibir pantulan itu bergerak lebih dulu, seolah berbicara tanpa suara.
Dan suatu malam, pantulan itu benar-benar bicara.
“Kamu sudah membuka pintuku, Lany. Sekarang, bantu aku pulang…”
Lany mundur, tubuhnya gemetar. “Apa yang kamu mau dariku?”
“Kau tahu jawabannya. Aku ingin yang direnggut dariku… aku ingin hidupku kembali.”
Lany menutup cermin itu dengan kain. Tapi suara dari baliknya tetap terdengar—lirih, seolah berasal dari balik kaca:
“Kau punya hidup yang kuinginkan. Rumah, masa depan, cinta… semua yang hilang dariku.”
Beberapa hari kemudian, Lany memutuskan untuk kembali ke rumah kos tua itu. Ia tidak tahan lagi. Suara, bayangan, mimpi buruk—semua semakin nyata. Ia berpikir jika ia tahu kebenarannya, semuanya akan berhenti.
Rumah itu kini kosong total, sudah ditinggalkan pemiliknya. Pintu depannya tergembok, tapi gembok itu sudah berkarat. Lany memaksa masuk.
Suasana di dalam seperti waktu berhenti: debu tebal menutupi perabotan, cat tembok terkelupas, dan udara dingin menusuk tulang. Tangga menuju lantai tiga masih ada, masih sama seperti dulu—gelap, lembab, berdebu.
Namun kali ini… pintu lantai tiga sudah terbuka.
Lany melangkah pelan. Udara di atas terasa lebih dingin, seperti kabut halus menggantung di udara. Di ujung lorong, kamar Laras masih sama—kursi goyang dan cermin besar di dalamnya.
Tapi kursinya kini bergerak sendiri, perlahan berderit maju-mundur.
Lany mendekat, matanya menatap cermin besar itu.
Dan di dalamnya—ia melihat Laras.
Pucat, bergaun putih, rambut panjang menutupi sebagian wajah, tapi senyumnya lembut kali ini.
“Terima kasih sudah kembali.”
Lany menelan ludah. “Kenapa aku? Kenapa kamu ganggu aku?”
“Karena kau mendengarku. Tak ada yang mau dengar tangisanku. Kau satu-satunya yang naik ke atas. Kau membuka pintuku, Lany.”
Tiba-tiba, cermin itu bergetar. Permukaannya seperti air yang bergelombang. Laras menatapnya dalam-dalam.
“Sekarang… gantian. Aku keluar, kau masuk.”
Sebelum Lany sempat berlari, tangan pucat Laras menembus permukaan cermin dan mencengkeram pergelangan tangannya. Dingin. Kaku. Tak ada yang bisa ia lakukan.
Lany menjerit—tapi suaranya teredam. Dunia berputar, dan semuanya gelap.
Beberapa minggu kemudian, rumah kos tua itu kembali disewakan.
Seorang penghuni baru, mahasiswi juga, menempati kamar di lantai dua.
Malam pertamanya berjalan tenang.
Namun malam kedua, sekitar pukul dua dini hari, ia terbangun karena mendengar suara kursi goyang berderit—tepat dari atas kamarnya.
Dari lantai tiga.
Dan di cermin kecil kamarnya, jika diperhatikan baik-baik… ada sosok perempuan berambut panjang yang sedang menatapnya dari balik kaca, dengan senyum lembut.
“Hai… aku Lany.”
Komentar
Posting Komentar