Judul: Lantai Tiga — Part 2: Cermin Laras
Judul: Lantai Tiga — Part 2: Cermin Laras
Sudah dua bulan sejak Lany meninggalkan rumah kos tua itu. Ia kini tinggal di apartemen kecil dekat kampus, mencoba melupakan semua kejadian aneh yang sempat mengganggunya. Skripsinya hampir selesai, dan ia berpikir semuanya akan berakhir baik.
Namun malam itu, sesuatu kembali terjadi.
Saat sedang begadang menyelesaikan bab terakhir skripsinya, layar laptop Lany tiba-tiba berkedip. Sekilas, refleksi wajahnya di layar tampak... berbeda. Ada bayangan seseorang di belakangnya—samar, tapi jelas berambut panjang.
Lany menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa.
Ia memaksa diri untuk tidak panik. Mungkin cuma pantulan cahaya, pikirnya. Tapi beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Ada satu pesan suara baru dari nomor yang tak dikenal.
Dengan tangan gemetar, ia tekan tombol putar.
“Lany... kamu janji nggak akan ninggalin aku…”
Suara itu—masih sama seperti dulu. Lembut. Sedih. Tapi kali ini... disertai suara lain. Bunyi kursi goyang yang berderit… pelan, berulang.
Lany langsung menutup ponselnya. Ia memutuskan untuk mematikan lampu dan mencoba tidur, berharap semua hanya halusinasi.
Namun saat ia memejamkan mata, ia mendengar sesuatu dari arah cermin kecil di kamarnya.
Tok. Tok. Tok.
Seperti suara jari mengetuk dari dalam cermin.
Lany membuka mata perlahan. Di dalam cermin, terlihat seorang perempuan berdiri—bergaun putih lusuh, rambutnya menutupi sebagian wajah. Ia menatap langsung ke arah Lany, tapi refleksi itu tidak mengikuti gerakan Lany… seolah cermin itu punya dunia sendiri.
“Lany… aku kedinginan di sini…”
Suara itu terdengar dari cermin. Samar, bergaung.
Lany menjerit, melempar selimut ke arah cermin dan lari keluar kamar. Ia menginap di rumah temannya malam itu. Namun besok paginya, saat ia kembali ke apartemennya—cermin itu sudah pecah, dan di pecahan kacanya tertulis dengan ujung jari:
“Kenapa kamu tutup pintuku?”
Sejak hari itu, Lany mengalami mimpi yang sama setiap malam. Ia berada di lantai tiga rumah kos tua itu, duduk di kursi goyang, menghadap ke cermin besar. Tapi kali ini, di cermin itu, yang ia lihat bukan lagi Laras.
Yang ia lihat adalah dirinya sendiri… tapi dengan senyum yang bukan miliknya.
Senyum yang perlahan berubah menjadi bisikan:
“Sekarang giliranmu, Lany… aku sudah bebas…”
Dan ketika Lany terbangun keesokan harinya, cermin di kamarnya sudah tidak pecah lagi. Tapi di permukaannya… tampak jelas bayangan seseorang sedang duduk di kursi goyang.
Walau Lany tinggal sendirian.
Komentar
Posting Komentar